Tuesday 28 December 2010

Dari Guardiola Untuk Riedl

“Sepak bola tidak hanya dimainkan di lapangan saja. Sepak bola juga harus dimainkan diantara telinga.” Begitulah Terry Venables pernah berucap. Mantan pelatih Barcelona dan timnas Inggris ini memberi penekanan sekaligus arti penting pada kesiapan otak dan mental untuk tampil sebagai juara.

Beberapa kisah dibalik layar membuktikan kesiapan mental yang prima sangat berperan besar terutama pada pertandingan final. Kisah di Estadio Olimpico Roma, 27 Mei 2009 adalah salah satunya.

Beberapa saat menjelang kick-off Final Liga Champions 2008-09, Pep Guardiola menghampiri pelatih fisik timnya Paco Seirullo dan meminta menghentikan sesi pemanasan Carles Puyol dkk. “Paco, kita hanya punya waktu 10 menit. Tapi saya hanya butuh tujuh menit saja.”

Guardiola lalu meminta para pemainnya segera kembali ke ruang ganti. Disana telah terpampang sebuah layar dan projector yang diam-diam telah dipersiapkan oleh staf teknisnya. Guardiola lalu mematikan lampu dan menekan tombol play.

Seketika itu dihadapan para pemain tersaji cuplikan film peraih Oscar, Gladiator. Semua pemain tak terkecuali Dani Alves dan Eric Abidal yang terkena akumulasi kartu juga turut hadir. Semua diam dan menyimak klip film itu.



Diakhir klip film Gladiator itu, Pep menegaskan pesan yang ia tulis dengan kalimat yang sangat jelas.

“We are the centre of the pitch, we are precise, we are our effort, we are attackers who defend, we are defenders who attack, we are respected by our rivals, we are recognised by our rivals, we are every goal that we score, we are those who always look for our opponent’s goal. WE ARE ONE.”

Ketika lampu dinyalakan lagi, beberapa pemain terlihat menangis, sementara yang lainnya berteriak-teriak terbakar emosinya.

Guardiola tidak perlu berkata-kata lagi. Cuplikan film Gladiator itu telah memompa mental Puyol dkk ke level tertinggi. Mereka berjalan keluar ruang ganti dengan kepala tegak dan sejarah akhirnya mencatat dua gol dari Samuel Eto’o dan Lionel Messi mengantarkan Barcelona pada gelar ketiga Liga Champions.

Yang menarik adalah bagaimana Guardiola memotivasi pemainnya sungguh luar biasa. Secara teori psikologis ia memotivasi pemainnya untuk mencapai level yang tepat dalam tekanan mental yang begitu tinggi menjelang final. Ini jelas bukan hal yang sederhana.

Guardiola sendiri bukan satu-satunya pelatih yang mengunakan klip film untuk membangkitkan emosi dan semangat pemainnya. Menjelang final Liga Champions 2003 menghadapi Juventus, pelatih AC Milan Carlo Ancelotti memutar klip film Any Given Sunday yang dibintangi aktor kawakan Al Pacino. Bahkan Ancelotti juga mengutip kata-kata Al Pacino di film itu untuk membangkitkan “api” di dada para pemainnya.

Mendompleng Popularitas

Menjaga fokus dan konsentrasi menjelang pertandingan final memang butuh sentuhan khusus. Apalagi ketegangan pasti makin meningkat saat mendekati kick off pertandingan. Terlalu tegang dan terus memikirkan pertandingan final juga bisa meningkatkan kegelisahan, stres dan kelelahan yang datang justru sebelum waktunya.

Disinilah peran pelatih bersama stafnya untuk memainkan keseimbangan antara konsentrasi dengan relaksasi sebelum bertempur habis-habisan.

Beberapa tim sering mengakali situasi ini dengan menyempatkan rekreasi bersama. Liverpool misalnya meluangkan waktu bermain bowling sebelum final yang dramatis di Istanbul 2005. Sementara Real Madrid memilih bermain golf sebelum menghadapi final di Hampden Park tahun 2002.

Lalu bagaimana dengan timnas Indonesia jelang dua leg final Piala AFF 2010 ini? Saya tidak tahu apa yang akan dikatakan dan dilakukan Alfred Riedl sebagai suntikan moral beberapa saat menjelang pertandingan kepada Firman Utina dkk baik itu di Bukit Jalil (26/12) maupun di GBK Senayan (29/12).

Yang saya tahu, Riedl selalu menerapkan disiplin tinggi dan tidak membeda-bedakan pemain. Bagi Riedl semua pemain adalah bintang, dan karena itu pemain sangat respek kepadanya. Ia juga tidak pernah menyalahkan pemain di depan umum apalagi mengumbarnya pada media. Tapi Riedl juga bukan tipe yang suka mengumbar pujian untuk salah satu pemain. Baginya kesuksesan tim adalah yang utama dan nomor satu.

Sayangnya, sehebat apapun Riedl, belakangan ia seperti kompromis dengan beberapa kepentingan yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip kedisiplinan yang selama ini ia terapkan. Lebih tepatnya mungkin Riedl “diganggu” berbagai desakan yang tak bisa ia bantah.

Ketika timnas Garuda sedang membutuhkan konsentrasi dan relaksasi, Firman Utina dkk justru harus sowan ke kediaman pribadi Aburizal Bakrie yang ketua umum parpol. Tak hanya itu, menjelang keberangkatan menuju Kuala Lumpur Malaysia, timnas juga masih harus menghadiri acara doa dan dzikir bersama di sebuah pesantren yang pasti melelahkan dan menghabiskan energi. Lihat saja bagaimana muka bete dan tidak nyaman Irfan Bachdim berkali-kali tertangkap kamera televisi. Padahal dukungan doa bisa diberikan seluruh bangsa ini tanpa harus “menyeret-nyeret” timnas yang sangat membutuhkan istirahat dan jaga kondisi untuk pertandingan besar.

Akhirnya, saya hanya berharap Riedl menemukan kalimat-kalimat ajaibnya untuk melecut semangat Firman Utina dkk. Negeri ini sudah haus kemenangan dan gelar juara. Semoga timnas Merah Putih bisa memberikan kebanggaan itu untuk seluruh bangsa tanpa harus direpotkan lagi dengan pihak-pihak yang mau mendompleng popularitas.

Bung Towel
BOLA 271210

No comments:

Post a Comment